-->






Sejarah Alas donoloyo Slogohimo wonogiri

Sejarah awal hutan donoloyo , kalau istilah orang setempat sebutanya persisinya sejarah awal alas ndonoloyo
fenomena hutan yang namanya donoloyo sejak saya kecil tahun 80an sudah terkenal hutan jati yang lumayan luas dan tiap bulan puasa tiap hari sabtu dan minggu ratusan muda-mudi menggunakan alas donoloyo tersebut untuk refresing jalan-jalan / menikmati kehidupan dan banyak juga setelah liburan di alas donoloyo menemukan pasangan kekasih
alas donoloyo sendiri tepatnya berada di wilayah desa watusomo kecamatan slogohimo kabupaten wonogiri jawa tengah negara indonesia

sejarah alas donoloyo

alas donoloyo juga terkenal mistis nya dan ini percaya atau tidak saya menulis saja merinding , tapi yang saya serap aura mistis tersebut aura kebaikan dan saya sendiripun pernah mendapatkan sesuatu dari hasil saya dan temen-temen berdoa / prihatin / meditasi ditengah malam di punden alas ndonoloyo tersebut temen-temen saya yang di antaranya pak de warman , mas sugeng , mas sugi , mas parno

sejarah alas donoloyo

dalam artikel ini saya akan menuliskan sejarah awal terbentuhnya alas / hutan dan di namai donoloyo
Alas donoloyo sendiri masih ada kaitanya dengan putra-putra kerajaan majapahit , untuk cerita sejarah berdirinya alas donoloyo dari putra-putri kerajaan majapahit sampai datangnya para wali ke alas donoloyo selengkapnya seperti yang di tulis oleh Bapak H. soeparno hadimartono , BA warga ngerjopuro Slogohimo dan di tulis ulang oleh kun prastowo

1. Kebulatan Tekad
Masa keemasan Kerajaan Majapahit telah berakhir. Pada masa sisa-sisa Kerajaan Majapahit akhir dalam tubuh pemerintahan sering terjadi perselisihan baik kalangan Pangeran, Ksatria dan Keluarga Kerajaan. Perselisihan muncul karena masalah perebutan kekuasaan dan kepercayaan (agama), dua masalah pokok itulah yang menjadi akan semakin pudarnya pamor Kerajaan Majapahit akhir. Perebutan kekuasaan merajalela disetiap daerah disebabkan semakin tidak berwibawanya pemegang kekuasaan kerajaan, sementara perbedaan pandangan tentang kepercayaan agama menjadi jurang pemisah setiap golongan yang sangat sulit disatukan. Masing-masing golongan mempertahankan kebenaran ajarannya tanpa peduli sikap toleransi.

Masuknya agama Islam di tanah jawa menjadikan kegelisahan tersendiri bagi pemeluk agama Hindu dan Budha. Mereka mencoba untuk membendungnya dengan berbagai cara. Ajaran suci itu juga telah merembes kedalam tembok Kerajaan Majapahit akhir, menimbulkan perbedaan dikalangan pangeran, sentono dalem dan keluarga kerajaan, keadaan ini semakin meruncing sehingga banyak keluarga kerajaan, sentono dalem serta Para pangeran yang mulai jemu dengan lingkungan kraton dan mulai mencari jalan hidup diluar tembok Kerajaan, mereka memilih menjalani hidup dengan membaur bersama masyarakat dan merakyat.

Pangeran Dono Kusumo dan kakak kandungnya, RA. Donowati bersama salah seorang keluarga kerajaan yang lain yaitu Pangeran Meleng pada suatu hari mengadakan perundingan dan menemukan kesepakatan untuk meninggalkan kerajaan dengan maksud menghindari perselisihan, dalam kesepakatan itu mereka menentukan tujuan kearah Barat.
Setelah mempersiapkan segala sesuatu, berangkatlah mereka bertiga ketika mentari belum menampakkan sinarnya. Dengan tekad yang mantap guna mendapatkan ketentraman jiwa, mereka meninggalkan lingkungan kerajaan yang selama ini menjadi lingkungan mereka dilahirkan, mereka mendapatkan panggulawentah, mereka mendapatkan pengajaran, mereka besar dan berkembang di lingkungan kerajaan yang kini harus mereka tinggalkan, walau dengan hati yang berat karena meninggalkan kenangan yang tidak mungkin kembali.

Ketika dilangit masih bertaburan jutaan bintang yang berkedip menyinari malam dengan cemerlangnya. Angin pagi yang semilir mengusap tubuh mereka, Pangeran Dono Kusumo tidak sampa hati harus melihat RA. Donowati kakaknya harus meninggalkan lingkungan kerajaan, namun karena keinginan dan tekad yang bulat didasari rasa cinta kasih yang mendalam kepada adik laki-laki satu-satunya, Pangeran Dono Kusumo akhirnya dengan senang hati menerima alasan kakaknya.

Perjalanan mereka kadang-kadang harus melewati perdukuhan, pasar dan kerumunan orang, lembah dan ngarai, hutan tutupan dan kadang memasuki hutan belantara.
Berhari-hari bahkan telah berbulan-bulan perjalanan mereka bertiga telah menempuhnya, banyak kejadian yang telah mereka lakoni, seperti bermalam di suatu perdukuhan yang sedang terjadi bencana, menghadapi para begal di hutan tutupan, membantu penduduk membangun rumah desa dan kejadian-kejadian lain yang menjadi kenangan mereka bertiga.

Wilayah kerajaan Wengker tlatah Ponorogo telah mereka lewati, perjalanan mereka bertiga yang menuju arah barat lebih sering menelusuri lereng pegunungan dan hutan lebat, berhari-hari mereka bertiga melakukan perjalanan ditengah-tengah hutan diantara pepohonan yang kokoh besar. Binatang buas seperti serigala, harimau dan binatang lainnya seperti memjangan, kijang dan juga berbagai jenis burung sering mereka jumpai, bermalam diantara semak dan belukar adalah kebiasaan yang mereka kerjakan, makan binatang buruan, minum dikali yang mengalir adalah kebiasaan yang harus mereka lakoni, namun dengan perasaan yang senang dan riang mereka menjalaninya.

2. KETIKA CINTA BERSEMI
Perjalanan mereka bertiga belum mendapatkan daerah yang sesuai dengan keinginan.
Dalam perjalanan panjang dan melelahkan itu, telah memakan waktu, tenaga dan mencurahkan segenap nalar budinya, RA. Donowati tidak meninggalkan sifat-sifat kewanitaannya, manja.
RA. Donowati sebagai seorang gadis yang tengah merasakan masa remajanya kadang menampakkan kemanjaannya dan sering ingin diperhatikan, terutama dihadapan Pangeran Meleng, sebagai gadis yang jauh dari orang tua dan memerlukan pernyataan kasih sayang RA. Donowati tanpa disadarinya mulai menggantungkan harapan kepada Pangeran Meleng, tanpa disadari pula dirinya sering memperhatikan dan mulai mengagumi ketampanan, kegagahan dan keperwiraan Pangeran Meleng.

Namun perasaan yang menyiksa itu dengan tekad yang bulat dipendamnya, bahkan dalam hati sang putri berjanji rela mati dari pada mengungkapkan isi hatinya kepada sang Pangeran.
Pangeran Meleng yang memiliki bentuk tubuh yang tinggi tegap dan dengan wajah tampan adalah gambaran pemuda idaman bagi gadis, nampaknya juga menyimpan perasaan dan menggantungkan harapannya kepada RA. Donowati.

Seringkali Pangeran Meleng dalam waktu istirahat menghibur sambil memberikan pertolongan dengan memijit kaki sang putri. Lama-kelamaan antara Pangeran Meleng dan RA. Donowati timbul perasaan lain, Pangeran Meleng semakin sayang kepada RA. Donowati, sang putri sendiri apabila tidak dekat dengan Pangeran Meleng ada sesuatu yang hilang dihatinya.

Pangeran Dono Kusumo memaklumi sifat kakaknya RA. Donowati, keadaan itu dapat diterima Pangeran Dono Kusumo karena RA. Donowati telah jauh dari keluarga, orang tua, sanak saudara memang harus mulai memikirkan masa depannya. Bila sering kali melamun kakaknya melamun disaat istirahat dan bercanda dengan Pangeran Meleng ketika dalam perjalanan Pangeran Dono Kusumo hanya dapat tersenyum melihat sikap kakaknya.

Pangeran Meleng yang dikenalnya selama ini oleh Pangeran Dono Kusumo adalah seorang pemuda yang mempunyai tata karma, anggah-ungguh, sopan santun dan tanggung jawab yang tinggi, sehingga Pangeran Dono Kusumo tidak perlu merisaukan keadaan itu. Malah dalam hati kecilnya, dia berharap disuatu saat Pangeran Meleng mampu membahagiakan kakaknya.

Rasa iba dan belas kasihan Pangeran Meleng lama kelamaan berubah menjadi rasa sayang dan cinta kasih yang tumbuh dengan subur. RA. Donowati yang menginjak masa remajanya di mata Pangeran Meleng walaupun hanya mengenakan pakaian gadis dusun, op saja elok rupawan. Selain berkulit kuning langsat, berhidung mancung, bermata sayu, wajah lonjong ayu, rambut hitam panjang dan tingkah cekatan juga memiliki tingkah laku yang sopan dengan tutur kata yang halus, menunjukkan sosok gadis pilihan.

Perjalanan yang begitu lama bagi Pangeran Meleng terasa baru kemarin, perjalanan menjadi lebih semarak karena selalu dapat bersama dengan harapan hati, namun demikian sering kali Pangeran Meleng duduk menyendiri dan merenungi nasibnya, selalu saja timbul dalam hatinya pertanyaan yang mengganggu. Bersediakah RA. Donowati dipersuntingnya? Dapatkah ia membahagiakan sang pujaan hati karena dia kini seorang yang kabur kanginan yang tidak memiliki derajat dan pangkat.

Kebulatan tekad untuk menyatakan perasaan hatinya tidak dapat ditahan lebih lama lagi, pada suatu sore yang indah, saat istirahat berdua sambil menikmati candikala di langit barat, dipinggiran hutan tutupan, diantara gemericik air sungai yang bening mengalir sebening perasaan-perasaan hatinya, Pengeran Meleng mengungkapkan rasa cintanya kepada RA. Donowati. Mendengar dan menerima pernyataan yang begitu lama ditunggunya RA. Donowati berlari menjauh sambil menangis karena tidak dapat menahan perasaan hatinya.

Hari-hari selanjutnya mereka jalani dengan indahnya, mereka sepakat untuk membangun hidup bersama, dan mewujudkan harapan yang selama ini menjadi cita-cita Pangeran Meleng yaitu membangun satu kerajaan demi melanjutkan trahnya setelah nanti mendapatkan satu tempat yang diidamkan.

Perjalanan mereka sampailah di daerah Sokoboyo, setelah melihat daerah kaki pegunungan yang indah dan sejuk, tanah yang subur, penduduk yang ramai dan ramah.
Pangeran Meleng memutuskan untuk mengakhiri perjalanannya dengan membangun padepokan dan membangun bahtera hidupnya dengan RA. Donowati, di daerah itu.

Namun nampaknya Pangeran Dono Kusumo kurang berkenan dengan daerah itu, alasan lain yang mendorong untuk meninggalkan daerah itu adalah karena tidak ingin mengganggu katentreman dan kebahagiaan rumah tangga kakaknya serta dia ingin hidup mandiri tanpa harus menggantungkan diri kepada orang lain, selain itu Pangeran Dono Kusumo muai timbul ketidak cocokan pandangan hidup dengan Pangeran Meleng kakak iparnya.

3. BERPISAH
Sejak semula, Pangeran Dono Kusumo meninggalkan Lingkungan kerajaan karena semata-mata ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan mendapatkan ketrentaman jiwa serta membaktikan diri untuk bebrayan agung yang memerlukan tenaga dan fikirannya tanpa memikirkan kebahagiaan dan kesempurnaan lahirnya. Menjalani sisa hidupnya dengan sepi ing pamrih rame ing gawe, dan semata-mata menyerahkan hidupnya hanya untuk kembali kepada sang pencipta.

Namun demikian karena kecintaannya kepada kakak perempuannya serta rasa berat meninggalkan orang yang selama ini memberikan kasih sayang tatkala jauh dan lepas dari orang tua, Pangeran Dono Kusumo dengan senang hati tinggal beberapa hari sambil menikmati saat-saat terakhir bersama orang yang sangat dicintainya. Dan akhirnya Pangeran Dono Kusumo dengan berat hati harus melanjutkan perjalanannya. Dengan tekad bulat dia menjalani sisa hidupnya dan kembali melakukan perjalanan ke arah selatan menurut kata hatinya.

Setelah berhari-hari berjalan menelusuri hutan belantara dengan kebulatan tekad dan kesabaran hati, walaupun tinggal seorang diri Pangeran Dono Kusumo tanpa pantang menyerah menuruti kata hatinya untuk memperoleh satu tempat yang dapat dijadikan tempat mesanggrah guna menghabiskan sisa hidupnya. Akhirnya Pangeran Dono Kusumo menemukan suatu pendukuhan yang damai dilereng suatu perbukitan di kki gunung Braja yaitu dusun Watusomo, pedusunan dengan penduduk yang ramah dan tanah yang subur, Pangeran Dono Kusumo memutuskan untuk menetap di pedusunan itu.

4. KEHIDUPAN BARU
Pangeran Dono Kusumo mulai membaur dengan penduduk dan tinggal di pinggiran kali Josemonto yang mengalir dengan air bening dan tenang, sebutan Pangeran telah lama ditinggalkan dan memakai nama lain, Donosari.

Donosari memulai menjadi petani seperti kebanyakan penduduk lainnya, kebutuhan hidupnya dipenuhinya sendiri dengan memanfaatkan petegalan yang di milikinya untuk menyambung hidup, selain menanam kebutuhan hidupnya, Donosari membangun tempat tinggal mendirikan rumah berupa dangau yang tinggi untuk menjaga keamanan dari serangan binatang buas dan menghindari meluapnya air sungai ketika musim hujan, atap dangau terbuat dari ilalang kering digapit dengan diwelit (diikat) ijuk, dangau itu memeberikan kenyamanan dan ketentraman hati Donosari karena dimusim kemarau terasa dingin sejuk dan terasa hangat dimusim hujan.

Penduduk di pedusunan Watusono hidup dengan rukun, saling tolong- menolong dan mereka saling bahu-membahu untuk membangun dusunnya, Donosari sebagai anggota pedusunan itu dikenal karena suka menolong, suka bergaul, sabar, berjiwa besar dan selalu mengajak kepada tindak kebijakan, maka tidak heran bila bila Donosari sangat disuyuti oleh penduduk desa itu.
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun berlangsung dengan seiring perjalanan waktu, Donosari menunggu sisa hidupnya dan mewarnai hidupnya dengan memberi sesuluh kepada penduduk pedusunan itu dan penduduk dusun lain dengan berbagai pengetahuan kesempurnaan hidup, pengetahuan bertani dan menularkan pengalaman yang dimiliki untuk penduduk yang mengiginkannya.

Penduduk sekitarnya dan pedusunan Watusono menghormatinya dan menyebutnya Ki Ageng Donosari, Ki Ageng Donoloyo. Sebutan itu diberikan karena kecintaan dan kehormatan penduduk atas sikap Ki Ageng Donoloyo kepada penduduk pedusunan Donoloyo dan sekitarnya, sikap saling menghormati pada setiap penduduk, sikap suka menolong kepada penduduk, sikap suka berbuat kebajikan kepada penduduk, dan sikap Ki Ageng selalu menjadi suri tauladan.

Satu suri tauladan yang dipegang oleh Ki Ageng Donoloyo adalah kecintaannya kepada kelestarian alam, dalam setiap perbincangan Ki Ageng selalu mengajak penduduk pedukuhan untuk menanam pepohonan yang tahan lama, baik pohon mahuni, jombor, sengon, sawo, mangga dan pepohonan lainnya, karena kemanfaatan pepohonan sangat besar, dapat digunakan untuk kayu bakar, membangun papan tempat tinggal, menyuburkan tanah dan untuk keperluan yang lebih penting, kelestarian alam.

5. MAKSUD HATI
Tekad Ki Ageng Donoloyo hingga memasuki usia tengah baya masih dipegang teguh, tekad untuk menghabiskan sisa hidupnya di jalan kebajikan dan mengesampingkan kebutuhan duniawi selalu mendasari setiap langkahnya.

Sementara itu, nan damai di dusun Sukoboyo, Pangeran Meleng dan istrinya hidup rukun dan menikmati kebahagiaanya bersama penduduk yang hidup dalam suasana damai. Pangeran Meleng yang terkenal dengan sebutan Ki Ageng Sokoboyo atau Ki Ageng Meleng karena ketekunannya dan kesabarannya telah mampu meletakkan dasar hidupnya dengan mapan, hidup tentram tanpa kekurangan pangan dan sandang.

Bahkan Ki Ageng Meleng telah memiliki hutan Jati yang sangat luas, tumbuh subur, berbatang lurus dan besar, tanaman jati itu oleh Ki Ageng Meleng dipelihara dengan baik. Karena sejak semula cita-cita untuk mendirikan sebuah kerajaan menurutnya akan terwujud bila dia memiliki cukup kekayaan yang dapat dijadikan modal untuk mewujudkan keinginannya, menjadi raja meneruskan trah keturunan Majapahit di wilayahnya.

Ki Ageng Meleng yang selalu dikawal abdi kinasihnya Ki Brajag dan Ki Wijang kemanapun beliau pergi, bersikap keras kepada penduduk pedusunan Sokoboyo yang menggangu tanaman jatinya, tidak segan-segan Ki Ageng Meleng menghukum penduduk yang berusaha mencuri dan menebang pohon jati dihutan miliknya.

Cita-cita dan impian yang menggantung tinggi di angkasa, untuk kembali memperbaiki keturunannya dan menjadi raja serta sikap congkak dan arogan yang selama ono melekat pada Ki Ageng Meleng, telah sering kali diingatkan oleh RA. Donowati istrinya, namun nampaknya mata hati dan perasaan Ki Ageng Sokoboyo telah tertutup oleh impiannya.

Kabar tentang kepemilikan tanaman jati yang subur, lebat, lurus dan besar-besar di Sokoboyo telah terdengar oleh Ki Ageng Donoloyo. Sebagai seorang yang mencintai kelestarian alam, Ki Ageng Donoloyo tergelitik hati sanubarinya untuk memiliki pohon jati, keinginan Ki Ageng Donoloyo pada kelestarian alam dan kemanfaatan kayu jati.

Ki Ageng Donoloyo bercita-cita di sekitar tempat tingganya ingin dijadikan hutan jati yang kelak kemudian hari dapat di pergunakan oleh penduduk dan masyarakat sekitar Donoloyo untuk keperluan hidup seperti, dijadikan bahan ramuan untuk pembangunan banjar desa, pembuatan rumah dan keperluan lain, karena Ki Ageng tahu bahwa pohon jati adalah jenis tanaman keras yang sangat baik untuk dijadikan bahan ramuan bangunan, maka keinginan untuk memiliki dan menjadikan sekitar tempat tinggalnya hutan jati mendorongnya berangkat ke Sokoboyo tempat tinggal Ki Ageng Meleng, kakak perempuannya.

Dipagi yang cerah, dibawah sinar matahari pagi nan hangat, seiring semilirnya angin pagi yang segar melegakan, diantara kicau burung dipucuk dahan. Sembari menikmati keindahan pemandangan dan mengagumi kebesaran alam ciptaan Tuhan, Ki Ageng Donoloyo berjalan pelan menyusuri jalan setapak, semak belukar sambil menyibak dahan dan ranting yang melintang menghadang disepanjang jalan, dengan kebulatan tekat melangkahkan kaki dengan ditemani sebatang bamboo uluh beruas menuju Utara ke rumah kakak iparnya, Ki Ageng Meleng di Sokoboyo.

Berjalan dengan tanpa beban, pelan namun pasti, beberapa hari kemudian sampailah Ki Ageng Donoloyo di talatah Sokoboyo, terkejut dan rasa kagum menikam sanubarinya, perasaan syukur dipanjatkan kepada Tuhan atas kebesaran kemurahan-Nya member rahmat kepada kakak iparnya, dengan diberikan hutan jati nan luas dengan pohon yang tinggi-tinggi, besar-besar dan lurus-lurus. Harapan mendapatkan bibit pohon jati terbayang dimata, keinginan menjadikan daerah di sekitar pesanggrahan donoloyo menjadi hutan jati nampaknya akan dapat diwujudkan.

Kehadiran Ki Ageng Donoloyo diterima dengan perasaan gembira, penuh kekeluargaan. Perpisahan yang cukup lama antar keluarga itu, menjadikan pertemuan itu semarak dan sangat berkesan, apalagi ketika malam tiba pembicaraan mereka menjadi lebih semarak karena beberapa orang kepercayaan, bebahu dan ngga hadir dan saling berbincan-bincang dari satu masalah kemasalah lain dengan ramai.

Namun maksud keinginan Ki Ageng Donoloyo untuk mendapatkan bibit jati belum juga disampaikan, karena Ki Ageng Donoloyo masih ingin menikmati pertemuan dan mengobati rasa kangennya setelah lama tidak saling bersama, selain itu Ki Ageng ingin mengatakan pada kesempatan yang baik.

Setelah bermalam beberapa hari di padepokan Ki Ageng Sokoboyo, akhirnya Ki Agengn Donoloyo ketika menikmati minuman pagi menyampaikan niatnya untuk meminta bibit pohon jati (janggleng) guna ditanam di Donoloyo.

- Kakang Meleng, kehadiranku di Sokoboyo ini selain menengok keselamatan dan karahayon kakang berdua dan keluarga di pasanggrahan ini sebenarnya yang sangat mengganggu benakku – kata Ki Ageng Donoloyo membuka percakapan di pagi yang indah itu.

- Dimas Donosari, aku sangat gembira kehadiranmu disini setelah cukup lama kita saling berjauhan dan apakah keinginan yang mengganggu benakmu, bila kakangmu ini boleh mengetahui, utarakan keinginanmu.

- Setelah aku mendengar kabar dan menyaksikan sendiri keadaan hutan jati di tlatah Sokoboyo yang kakang miliki, perkenankanlah aku nempil kamukten dengan meminta beberapa biji bibit pohon jati untuk aku tanam di Donoloyo karena aku mempunyai maksud menjadikan tlatah Donoloyo menjadi hutan jati seperti keadaan disini untuk aku tinggalkan kepada anak cucu kelak.

- Maaf dimas, aku tidak dapat mengabulkan permintaanmu, jangankan beberapa biji, sebiji bibit pohon jatipun tidak akan aku lepaskan, dimas tidak perlu mengikuti aku untuk menanam pohon jati. Biarlah tlatah Sokoboyo ini saja yang tumbuh pohon jati karena hanya dengan pohon-pohon jati inilah aku akan mewujudkan keinginanku melanjutkan Trah Majapahit – jawab Ki Ageng Meleng dengan angkuhnya.

Terkejut bukan buatan Ki Ageng Donoloyo menerima jawaban Ki Ageng Meleng. Ki Ageng Donoloyo tidak menduga kakak iparnya akan sampai hati berkata dan memutuskan seperti itu.
Percakapan berhenti sampai disitu, dengan jiwa besar Ki Ageng Donoloyo memutuskan untuk kembali walaupun dengan tangan hampa, dengan kesabaran Ki Ageng Donoloyo meminta diri kepada Ki Ageng Meleng dan Nyi Ageng.

Walaupun demikian perasaan kecewa p terpancar di wajah Ki Ageng Donoloyo, dengan hati pedih Ki Ageng Donoloyo menyusuri semak belukar, menuruni bukit dan melewati jalan setapak, walau terasa berat dilangkahkan kakinya sambil p memanjatkan permohonannya kepada Tuhan, semoga suatu saat nanti keputusan Ki Ageng Sokoboyo berubah, dan p menggantungkan harapan suatu saat nanti dapat menikmati teduhnya hutan jati yang dimilikinya.
Perjalanan pulang itu terasa sangat panjang, dengan ditemani bambu uluh yang dibawa dari rumah rumah yang didalamnya telah terisi tiga biji janggleng. Ki Ageng Donoloyo kembali menyusuri semak belukar.

Ketika terjadi percakapan antara Ki Ageng Donoloyo dan Ki Ageng Meleng, Nyi Ageng mendengarkan pembicaraan itu sambil menyiapkan dan menyediakan makanan pagi, Nyi Ageng berdebar-debar mengapa suaminya tega tidak memberikan bibit pohon jati kepada adiknya, Ki Ageng Donoloyo. Didasari rasa iba dan kasih sayangnya Nyi Ageng secara diam-diam mengambil tongkat bambu yang dibawa Ki Ageng dari donoloyo itu dan dimasukkan tiga biji bibit pohon jati, janggleng, lalu dikembalikan ke tempat semula, yang kemudian dibawa kembali pulang Ki Ageng Donoloyo menemani perjalanannya.

Dengan badan lemah lunglai, Ki Ageng Donoloyo melanjutkan perjalanan menuju padepokannya, dibeberapa tempat Ki Ageng sempat berhenti beristirahat sambil menancapkan tongkat bambu uluh di tanah sembari merenungi nasibnya.
Di desa Made, Ki Ageng beristirahat, sebiji bibit pohon jati tertinggal, (Akhirnya tumbuh subur menjadi pohon jati perkasa, Jati denok).

Dari desa itu Ki Ageng melanjutkan perjalannan ke arah Timur, di sebuah pedukuhan kembali beristirahat, perasaan enggan untuk kembali kepondoknya di Donoloyo timbul dihati, rasa enggan kembali (mangu-mangu, Jawa) kembali karena merasa usahanya gagal, namun perasaan putus asa itu ditepiskan, didaerah itu kembali sebutir janggleng tertinggal. (Dari beberapa tahun kemudian di Sokomangu tumbuhlah sebatang pohon jati dengan kokohnya dan dijadikan Punden Sokomangu).

6. JATI CEMPURUNG
Perasaan kecewa, sedih dan putus asa berbaur dengan perasaan letih setelah melakukan perjalanan beberapa hari, sesampai di pondoknya, tongkat bambu uluh ditancapkan di halaman.
Kehadiran Ki Ageng disambut oleh mendung yang pekat, angin bertiup kencang. Merasa letih dan penat serta beban pikirnya Ki Ageng merebahkan diri, tidur. Saat Ki Ageng tidur di luar terjadi hutan lebat, petir menyambar-nyambar dibarengi tiupan angin topan yang memporak-porandakan tanaman disekitar gubuk, tampaknya alam menyambut kehadiran sebatang bibit pohon jati dari dalam bambu uluh.

Ketika terjaga dari tidurnya, Ki Ageng mengamati pepohonan yang tumbang, tanaman yang roboh, keadaan itu membuat Ki Ageng tertegun dan merenung apa gerangan makna dari kejadian itu, tanpa sengaja pandangannya tertuju pada tongkat bambu uluh yang ditancapkan di halaman. Alangkah terkejutnya, ketika diamati dengan ama tongkat bambu uluh itu telah pecah dan didalamnya tumbuh sebatang bibit pohon jati kelihatan segar, daunnya lebar berbatang lurus.
Rasa syukur setulus-tulusnya dipanjatkan atas karunia yang telah diberikan Tuhan Yang Maha Kuasa kepadanya, perasaan senang, gembira haru bersyukur berbaur menyatu, sehingga tanpa disadari seharian Ki Ageng menunggui tumbuhan jati itu.

Hampir tiap hari Ki Ageng tak lupa menyirami dan menyiangi tanah disekitar batang bibit jati serta member pupuk guna kesuburan tanah dan pohon jati itu, untuk menjaga keamanan tanaman yang diidamkan itu diberinya srumbung.

Waktupun bergulir seiring pertumbuhan pohon jati yang tumbuh dengan cepat, subur, berbatang lurus, berdaun lebat dan kokoh, pohon jati itu oleh Ki Ageng diberi nama tetengger ‘Jati Cempurung’. Selang beberapa tahun kemudian Jati Cempurung telah berbuah dengan lebat, tak sebutir pun janggleng jati itu tertinggal, dengan telaten satu demi satu janggleng Jati Cempurung dipunguti Ki Ageng Donoloyo untuk dijadikan bibit dan ditanam kembali disekitar tempat tinggalnya serta tidak sedikit bibit jati itu diberikan kepada penduduk sekitarnya untuk dibudidayakan.

Hanya beberapa tahun kemudian daerah Donoloyo dan sekitarnya berubah menjadi hutan jati yang lebat serta semakin luas menyebar. Berita tentang Jati Cempurung telah tersebar luas dan telah menjadi buah bibir.
Khabar itupun telah didengar Ki Ageng Sokoboyo, perasaan marah membakar nalar budi Ki Ageng Meleng dan menuduh Ki Ageng Donoloyo telah mencuri bibit pohon jatinya.

7. UPATA KI AGENG SOKOBOYO
Disuatu pagi berangkatlah Ki Ageng Sokoboyo dengan berkuda ditemani kedua abdi kinasihnya manuju tlatah Donoloyo, menilik sikap dan percakapan Ki Ageng Sokoboyo dengan dua abdi kinasihnya Nyi Ageng menjadi gelisah dan teringat akan tindakannya beberapa tahun silam, dengan tanpa seijin suaminya, Nyi Ageng memberikan tiga biji bibit tanaman jati kedalam tongkat bambu uluh milik Ki Ageng Donoloyo.

Perasaan berdebar-debar, was-was menghantui perasaan Nyi Ageng, tapi dengan kesabaran diserahkan kepada Tuhan seraya memanjatkan do’a dan berserah diri kepada-Nya, semoga tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan atas Ki Ageng Meleng, KI Ageng Donoloyo dan dirinya
Sementara itu dalam perjalanan Ki Ageng melarikan kudanya dengan kecepatan yang cukup kencang, walaupunjaln itu tidak memunkinkan karena keterampilan mengendalikan kuda, perjalanan itu sangat cepat.

Sikap Ki Ageng Meleng menjadi tambah murka ketika dengan mata kepala sendiri melihat disepanjang jalan dan hamparan tlatah Donoloyo tumbuh dengan suburnya pepohonan jati, dengan kemarahan yang telah memuncak dihentakkan kendali kuda dan dipacunya untuk menambah kecepatan, seakan-akan Donoloyo ingin dijangkau dengan satu langkah derapa kaki kudanya.

Semilirnya angin diantara sela-sela pohon jati dihutan Donoloyo, yang melebihi kelebatan hutan sokoboyo dirasakn sangat panas dan membakar hatinya. Sesampai di padepokan Donoloyo, turun dari kudanya dan menambatkan pada sebatang pohon jati (ditempat itu dinamakan kandang jaran, dan kini masih dapat dilihat) Ki Ageng Meleng langsung menemui Ki Ageng Donoloyo.

Terkejut dan gembira Ki Ageng Donoloyo memerima kedatangan kakak iparnya, dengan penuh hormat Ki Ageng Meleng dipersilahkan memasuki pondoknya namun dengan kasar Ki Ageng Meleng menolak ajakan itu.

− Tidak perlu basa-basi dimas, karena aku dating kesini bukan untuk keperluan itu, tapi He, Dono Kusumo diamanakah letak jiwa satriamu, kenapa tidak kau junujung trah bangsawanmu. Jiwa kesatriamu busuk, bangsawan tak tahu diri, jiwamu hina – dengan lantangnya Ki Ageng Meleng melontarkan makianya.

− Kakangmas Meleng, kenapa kakangmas tega berkata demikian kepadaku, dimana letak kesalahanku kakang – kata Ki Ageng Donoloyo dengan penuh kesabaran.

− Tidaklah kau sadari Donosari, kau curi bibit pohon Sokoboyo untuk kau tanam disini dan kini tlatahmu telah berubah menjadi hutan jati, apakah itu bukan suatu kesalahan, he bangsawan berjiwa busuk – bentak Ki Ageng Sokoboyo sambil menuding muka Ki Ageng Donoloyo.

Mendapat perlakuan demekian Ki Ageng Donoloyo p menahan gejolak hatinya yang merasa dihina, dengan sabar menjawab tuduhan itu.

− Kakangmas Meleng, sekali lagi sudilah engkau memasuki pondokan, dan bila adikmu ini bersalah aku akan menerima murkamu, dan ketahuilah kakang, tidak terlntas dibenakku akan mencuri bibit kayu jati dari Sokoboyo, dan bila kini tlatah Donoloyo menjadi hutan jati semata-mata karena kebesaran Tuhan yang maha Kuasa, induk tanaman jati (jati cempurung) itu aku sendiri dapatkan tanpa aku ketahui asal-usulnya, karena tumbuh subur di halaman pondok Donoloyo ini, dan aku merasa tidak mencuri bibit jati dari hutan kakangmas di Sokoboyo – bantah Ki Ageng Donoloyo dengan penuh kesabaran.

− Persetan dengan ucapanmu Donosari, aku tidak butuh omonganmu lagi dengarlah upataku atas tindakanmu mencuri bibit pohon jati dari Sokoboyo, semoga hutan, langit dan bumi menjadi saksinya, Pertama; Jika kayu jati, dahan dan ranting dari Donoloyo dibawa ke utara jalan (tlatah Sokoboyo) akan menjadi malapetaka (tletuh, willalat atau welak), Kedua; antara rakyat Sokoboyo dengan rakyat Donoloyo tidak boleh bersuami istri (besanan – bhs Jawa).

− Kakangmas!

Petirpun menggema di angkasa dan turunlah hujan gerimis, menangisi tindakan Ki Ageng Meleng yang gegabah. Tanpa pamit, Ki Ageng Sokoboyo mengambil kudanya dan meninggalkan padepokan Donoloyo diikuti kedua abdi kinasihnya.

Sepeninggal Ki Ageng Meleng, perasaan Ki Ageng Donoloyo menjadi gundah gulana dan tidak mengerti maksud yang diinginkan kakak iparnya, hanya do’a yang dihaturkan untuk memohon kepada Tuhan agar upata Ki Ageng Sokoboyo tidak tumama, nemahi (terkabulkan).

8. KEDATANGAN PARA WALI
Sementara itu kita tengok sepeninggal kisah di bumi kerajaan Demak Bintara, ketika pagi menjelang siang, matahari memancarkan sinarnya dengan terik. Di pendapa kerajaan berkumpulah Sembilan Wali (WAli Songo) membicarakan ditemukannya selembar daun jati kering yang lebar dan bagus, menunjukkan keunggulan pohon jatinya, menurut perkiraan para wali. Ketika itu Kerajaan bermaksud membangun Masjid Agung Demak, karena dirasa perlu menunjukkan kepada daerah luar bahwa Kerajaan Demak menerima dengan terbuka kehadiran Islam.

Keputusan dari pertemuan para wali, ulama dan pemuka Kerajaan itu setelah melalui pertimbangan yang matang akan dicari kearah selatan sambil menunggu petugas kerajaan yang ditugasi mencari sisik melik tentang daun jati itu. Beberapa hari setelah pertemuan itu diperoleh kepastian bahwa daun jati itu berasal dari Jati Cempurung milik Ki Ageng Donoloyo.

Singkat cerita, para wali bersama para pemuka agama dan sentana dalem serta tiga bregada prajurit berkuda menuju padepokan Donoloyo guna meminta ijin pemilik pohon jati untuk merelakan pohon jatinya guna Membangun Masjid Agung Demak, Perjalanan berkuda itu menuju arah selatan kedaerah Wonogiri dan berbelok ke timur, beberapa kali rombongan berkuda itu bermalam di rumah penduduk sambil menyebarkan agama Islam, dan bermacam kejadian mewarnai perjalanan itu seperti ketika menjelang memasuki daerah Slogohimo kuda seorang Wali mati tanpa diketahui sebab-sebabnya (daerah itupun mendapat tengger desa jaran mati), dari Jaran Mati melanjutkan perjalanan melewati Semen, didesa ini para Wali melaksanakan sholat dan membangun barak dari ilalang (Omah Tiban, penduduk Semen dan sekitarnya kini menyebutkanya) untuk melepas lelah sambil mencari dan menanyakan letak padepokan Donoloyo.

Ternyata mereka telah memasuki padepokan Donoloyo setelah mendapat keterangan dari penduduk, legalah hati mereka karena telah sampai ditempat yang dituju.
Setelah berkuda beberapa saat kemudian, sampailah rombongan itu di pondok Ki Ageng Donoloyo, kaget juga Ki Ageng menerima kedatangan rombongan yang cukup besar itu dan dengan hormatnya Ki Ageng mempersilahkan tamunya untuk memasuki pondoknya, setelah saling memperkenalkan diri, Sunan Gunung Jati selaku sesepuh dan pimpinan rombongan menyampaikan maksudnya.

− Adimas Donoloyo, kedatanganku ke padepokan ini mengemban amanat dari Anakmas Adipati Demak, yang pertama ingin menyampaikan salam taklim untuk Adimas disini yang kedua karena Demak akan membangun Masjid Agung dan memerlukan ramuan kayu untuk bahan bangunan masjid tersebut, nampaknya Allah menunjukkan kebesaran-Nya setelah kami temukan selembar daun jati kering di halaman Keraton Demak, maka kami memutuskan untuk mendapatkan pohonnya. Melalui usaha, akhirnya kami menemukan dan melihat sendiri pohon itu maka kami mengaguminya dan bermaksud untuk meminta ijin kepada Adimas guna merelakan tanaman pohon jati itu menyatu dengan Masjid Demak – dengan fasihnya Sunan Gunung Jati menyampaikan maksud kedatanganya.

Dengan perasaan haru dan bangga Ki Ageng Menjawab permohoan itu dengan penuh hormatnya, secara terbuka menyampaikan jawaban.

− Puji dan syukur kami haturkan kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa atas Karunia-Nya memberi kesempatan kepada diri kami untuk bertemu langsung dan mendapat kunjungan para sunan ke padepokan yang terpencil ini, serta rahmat-Nya telah dilimpahkan kepada kamu yang di Donoloyo dengan mendapat salam taklim dari Kanjeng Adipati Demak, Kanjeng Sunan dan Sentana dalem yang sangat saya hormati bila memang demikian maksud Kanjeng Adipati dan para kanjeng sunan serta para rakyat pemeluk Islam di Demak untuk membangun Masjid Agung dan memerlukan kayu Jati untuk bahan ramuan dengan senang hati kami merelakan Jati Cempurung menyatu dengan masjid Agung Demak.

− Namun harus dengan apakah kami menggantikan nilai sebatang Pohon Jati yang tanpa cacat ini – lanjut Sunan Gunung Jati menanyakan pengganti nilai pohon Jati Cempurung untuk disampaikan kepada Kanjeng Adipati Demak nanti.

− Kanjeng Sunan, saya tidak menginginkan Jati Cempurung saya diganti dengan emas picis raja brana, atau digantikan dengan drajat dan pangkat, tapi kepada Tuhan saya memohon melalui lantaran para Kanjeng Sunan dan yang hadir disini untuk mengabulkan permintaan saya; yang pertama sepanjang jaman tlatah Donoloyo di keduwung jangan sampai kekurangan sandang pangan, kedua jangan terjangkit wabah peyakit yang merajalela dan ketiga jangan sampai daerah Donoloyo dijadikan ajang peperangan (fron), dan semoga kelak kemudian hari daerah ini menjadi aman, tentram dan penduduk hidup rukun −

Kemudian mereka, para Wali Sanga, Ki Ageng Donoloyo, Abdi dalem dan para prajurit yang diluar bersama-sama bersamadi beberapa saat memanjatkan do’a agar terkabul permohonan Ki Ageng Donoloyo.
Hari yang cerah itu berubah menjadi gelap oleh mendung, angin bertiup kencang, petirpun mulai menyambar seiring turunnya hujan di bumi Donoloyo atas terkabulnya permohonan Ki Ageng Donoloyo.

Penebangan Jati Cempurung dimulai, segala uba rampe penebangan; tali lawe, parang dan gergaji dipersiapkan, dan penebangan jati itu membuat hati Ki Ageng tersayat, rasa-rasanya tubuh dan jiwanya yang dilukai oleh kapak karena Jati Cempurung yang tinggi dan kokoh menjulang angkasa, suar menggelagar mengguncang bumi Donoloyo dengan robohnya pohon Jati Cempurung yang berusia puluhan tahun itu.

Saat rebahnya Jati Cempurung ada satu dahan yang tersangkut di pohon lain dan terus hingga kini, Jati Gondel. Berhari-hari prajurit Kraton Demak dan penduduk sekitar Donoloyo merajang Pohon Jati Cempurung dengan gergaji dan kapak untuk dijadikan saka guru, kusen, usuk dan reng agar memepermudah pembawaan ke Demak.

Karena dirasa masih kurang satu soko guru utama maka Sunan Kalijogo mengumpulkan kepingan kayu (tatal) dengan kesaktian dan kehendak Tuhan tatal itu diusap dengan kedua tanganya dan terjadilah keanehan, tatal itu telah berubah menjadi soko guru utama, namun sayang bagian bawah yang menyentuh tanah tidak dapat halus karena tidak mendapat usapan tangan Sunan Kalijogo, bagian bawah p kasar (sisi kasar itu masih dapat dilihat bila penutup/kain kafan pembungkus tiang itu dibuka, tiang itu berada dibagian tengah Masjid Agung Demak).

Setelah seluruh pekerjaan selesai, kayu-kayu ramuan bangunan masjid itupun diangkut oleh prajurit dan meminta bantuan penduduk Donoloyo untuk turut mengantarkan dan memikul kayu itu ke Demak.

Sekali lagi Sunan Gunung Jati dan para wali yang lain dan tak lupa para abdi dalem mengucapkan terima kasih dan mohon pamit. Terharu Ki Ageng mendapat perlakuan demikian, tanpa disadarinya menetes air matanya untuk sikap para Sunan dan abi dalem serta untuk Jati Cempurung yang tinggal kenangan.

Hari-hari Ki Ageng Donoloyo terasa sepi berjalan seiring semakin senja usia beliau, dan akhirnya Tuhan menghendaki Ki Ageng Wafat dengan muksa, tanpa diketahui letak jenasah, jasad wadagnya.

PUNDEN DONOLOYO: Pada Masa Kini

Lokasi punden Donoloyo terletak di desa Watusomo, Kecamatan Slogohimo, Kabupaten Wonogiri. Berada ditengah-tengah Hutan Cagar Alam Donoloyo, saat ini terdapat sebuah bangunan berukuran 10 x 12 meter yang berbentuk rumah limasan digunakan sebagai tempat pesadranan tempat meminta berkah, syukuran dan tempat memohon keselamatan dan ketentraman kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui lantran Punden Donoloyo, Punden itu sendiri tempat bekas tunggak Jati Cempurung walaupun sudah tidak berbekas lagi.

Pada hari Jum’at Pon dan Jum’at Kliwon, punden banyak dikunjungi para pesiarah yang dating tidak saja dari Kabupaten Wonogiri, namun dari berbagai kota di sudut Pulau Jawa untuk melakukan panyuwunan (permohonan), biasanya para pesadaran membawa daging panggang (ayam jago) dan nasi putih disertai lauk pauk kacang tolo dimasak dengan parutan kelapa rasa manis-manis gurih, uba rampe yang lain adalah bunga wangi (lotho dan uang sekedarnya sebagai kancing do’a)

Selanjutnya perlengkapan nyadren diekrorkan oleh Juru Kunci Punden setelah itu dibagi-bagikan kepada siapa saja yang hadir disitu. Bila yang memiliki keinginan (penyadaran) tidak bisa langsung di tempat dapat digantikan dengan pakaian yang sering dipakai yang punya hajad.

Dan tidak jarang bila permohonannya terkabulkan atau memperoleh untung besar, mereka datang kembali untuk syukuran dengan menyembelih kambing atau sapi dan dihabiskan di Punden bersama-sama sanak keluarga dan masyarakat sekitarnya, boleh juga dibawa pulang namun harus habis dalam sekali makan.

Menilik seringnya orang nyadaran dengan menyembelih lembu, mengindikasikan banyak para penyadaran yang terkabulkan keinginannya, malah sering dalam satu hari sadranan ada dua tiga orang yang menyembelih kambing.

Permohonan menuju jalan kebajikan biasanya mendapatkan berkah, misalnya mencari kederajatan, hal ini berkaitan dengan jiwa Ki Ageng Donoloyo yang selalu berjalan kearah kebajikan dan kebenaran.

Sementara upata yang pernah dilontarkan Ki Ageng Meleng, masih mengakar dihati masyarakat sekitar Donoloyo dan Sokoboyo namun sebenarnya upata itu pada intinya tidak memahi (tidak terkabulkan), ada beberapa pasangan suami istri yang hidup rukun, aman tentram tanpa mendapat malapetaka, begitu juga upata tentang kayu Donoloyo yang dibawa ke utara jalan tidak menimbulkan marabahaya.

Sedangkan permohonan Ki Ageng Donoloyo yang disaksikan oleh Wali Sanga hingga saat ini banyak terkabulkan, tlatah Donoloyo dan sekitarnya tidak/belum pernah terjadi kekurangan pangan (kelaparan), terjangkit wabah penyakit dan belum pernah terjadi ajang perang, serta rakyat disekitar tlatah Donoloyo selalu hidup dalam keadaan aman, tentram dan hidup berngga dengan menjunjung tinggi gotong royong dan kemakmuran.

Patangan dan tempat-tempat yang perlu diketahui sekitar Punden Donoloyo adalah sebagai berikut:

Kandang Jaran, tempat menambatkan kuda Ki Ageng Meleng, berada disebelah barat jalan menuju punden, didekat Kandang Jaran terdapat jati kembar yang sama besar, sama tinggi.
Jati Petruk, merupakan jati tertinggi yang ada di Cagar Alam Donoloyo, berada di sebelah selatan Kandang Jaran.
Jati Gondhel, dahan jati cempurung yang menempel pada pohon lain sewaktu jati cempurung ditebang, berada di sebelah selatan Kandang Jaran sebelah kiri jalan yang menuju KRPH Watusomo.
Jati Jegot, berada di sebelah Barat Punden kuarng lebih ½ km, merupakan kayu jati yang kembali ketika akan dipakai membangun Kraton Solo karena cacat (dikatakan jelek) oleh abdi dalem kraton.
Pantangan tatkala berkunjung ke Punden Donoloyo adalah memakai pakaian berwarna hijau muda (hijau pupus)
Ki Ageng Donoloyo sangat menggemari gendhing-gendhing (lagu-lagu) yang dilantunkan oleh swarawati atau sinden. Dahulu kala ketika Ki Ageng menebang kayu jati dan ingin mengangkat batang kayu jati agar ringan dipikul maka diatas batang kayu jati itu perlu didududki seorang swarawati sambil melantunkan gendhing-gendhing Mocopot seperti Dhandanggula, Pucung, Maskumambang dan lain-lainnya maka batang kayu jati seakan-akan dapat berjalan sendiri dan terasa ringan.
Punden Sokoboyo, terletak di sebalah barat Balai Desa Sokoboyo (lebih kurang 6 km dari Kota Kecematan Slogohimo ke arah utara) dan p terawat dengan baik oleh juru kunci dan penduduk di sekitarnya, disana terdapat makam Ki Ageng Meleng, Nyi Ageng Meleng (RA. Dono Wati) bersama dua abdi kinasihnya Ki Brajak dan Ki Wijang.

Oleh penduduk setempat diyakini bahwa di punden Sokoboyo terdapat pohon jati yang tidak dapat dilihat secara mata lahiriah, di punden Sokoboyo juga dijadikan tempat pesadranan dan tirakat, malah bila dikabulkan tirakat seseorang maka pelaku tirakat tersebut akan memperoleh selembar daun jati Sokoboyo yang membawa berkah.

Komentar

Tampilkan

No comments:

Post a Comment

sejarah

+